![]() |
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto pada sidang pertama di PN Jakarta Pusat, jumat (14/3/2025) |
Dalam sidang itu, jaksa KPK tidak hanya membongkar keterlibatan Hasto dalam suap yang melibatkan buronan korupsi Harun Masiku itu, tapi juga mengungkap peran Yasonna Laoly yang kala itu menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM.
Kasus Harun Masiku ini sejak awal memang tergolong sangat rumit karena melibatkan sejumlah pihak. Tidak hanya Hasto selaku petinggi PDIP, tapi juga anggota KPU dan Bawaslu RI.
Hasto disebut berperan mengatur lobbi dengan KPU dan kemudian mengantarkan uang suap kepada Komisioner KPU saat itu, Wahyu Setiawan. Tujuannya, agar KPU bisa menetapkan Harun Masiku sebagai anggota DPR RI.
Wahyu sendiri telah divonis 6 tahun penjara pada Agustus 2020, sedangkan temannya Agustiani Tio Fridelina, anggota Bawaslu yang berperan sebagai penghubung juga telah divonis 4 tahun penjara.
Sementara itu Harun Masiku hingga hingga kini masih belum diketahui rimbanya. Mantan caleg PDIP itu masih menjadi buronan KPK dalam kasus suap tersebut.
Adapun besar suap yang diberikan mencapai SGD 57,350.00 atau setara Rp600.000.000. Hasto disebut berperan sebagai pengatur agar suap itu sampai kepada Wahyu sehingga proses pengangkatan Harun Masiku sebagai anggota DPR RI diharapkan berjalan mulus.
Adapun peran Yasona dalam kasus itu, menurut Jaksa KPK, adalah membuat surat permohonan fatwa kepada Mahkamah Agung (MA) terkait PAW tersebut. Surat itu ditandatangani oleh Hasto dan Yasonna. Keduanya meminta agar MA memberikan fatwa agar KPU mengabulkan permohonan PDIP untuk mengganti caleg.
"Tanggal 19 Juli 2019, yang ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung yang ditandatangani Terdakwa selaku Sekjen PDIP dan Yasonna H Loly selaku Ketua DPP PDIP yang pada pokoknya meminta fatwa kepada Mahkamah Agung RI agar KPU RI bersedia melaksanakan amar putusan MA nomor 57P/HUM/2019," ujar Jaksa dalam amar dakwaannya, PN Jakpus, Jumat (14/3/2025).
MA pun menerbitkan surat yang menyatakan kewenangan penetapan caleg pengganti diserahkan kepada partai politik.
Menariknya, Jaksa mengungkapkan bahwa Harun Masiku berada di ruang kerja Ketua MA Hatta Ali saat fatwa tersebut diterbitkan. Keberadaan Harun Masiku di lokasi dan waktu tersebut menimbulkan spekulasi dan pertanyaan lebih lanjut mengenai kronologi dan keterlibatan berbagai pihak.
Kronologi kasus
Dalam dakwaan itu, Jaksa membongkar secara jelas kronologi kasus korupsi itu. Bermula ketika meniggalnya Nazaruddin Kiemas, caleg PDIP Dapil Sumatera Selatan 1, pada Maret 2019. Riezky Aprilia, peraih suara terbanyak yang ada di dapil yang sama seharusnya menggantikan posisi almarhum sebagai anggota DPR RI.
Namun, PDIP rupanya menginginkan Harun Masiku yang suaranya lebih rendah untuk menjadi anggota DPR.
Sebagai teman dekatnya, Hasto kemudian mengatur scenario agar Harun Masiku mulus melangkah sebagai anggota DPR RI. Ia lantas memerintahkan rekannya Donny Tri Istiqomah untuk mengurus ke KPU.
Pada 31 Agustus 2019, Hasto bertemu Wahyu Setiawan di kantor KPU. Pertemuan tersebut membahas upaya Harun Masiku duduk sebagai anggota DPR RI sehingga posisi itu tidak diberikan kepada Riezky Aprilia.
Setelahnya, pihak Bawaslu pun diminta membantu memperlancar rencana itu. Anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina berperan dalam menjalankan tugas ini.
Wahyu Setiawan awalnya meminta uang Rp1 miliar untuk memperlancar proses PAW Harun Masiku itu. Namun, ia hanya menerima Rp800 juta. Sebanyak Rp600 juta sudah diberikan sedangkan sisanya menyusul. Sementara Agustiani Tio Fridelina menerima Rp50 juta.
Rangkaian peristiwa ini menunjukkan adanya dugaan perencanaan dan koordinasi yang matang dalam upaya tersebut.
Tidak disangka, transaksi penyerahan uang itu rupanya berhasil dibongkar KPK. Awalnya Wahyu yang pertama ditangkap, kemudian menyusul Agustiani Tio. Sedangkan Harun Masiku melarikan diri. Dari keterangan Wahyu dan Agustiani akhirnya terungkap peranan Hasto dalam kasus itu.
Saat Joko Widodo menjabat presiden RI, sebenarnya ia sudah berupaya membela Hasto dan malarang KPK untuk menyentuh sekjen PDIP itu. Bukan rahasia lagi, di masa kepemimpinan Jokowi, KPK berada di bawah ketiak penguasa sehingga lembaga itu hanya dijadikan alat untuk menyerang musuh Jokowi.
Kala itu hubungan Jokowi dan PDIP masih sangat mesra. Hubungan Jokowi dan Hasto juga sangat dekat sehingga perlindungan total diberikan Jokowi untuknya. Tidak sekalipun KPK berani menyentuh Hasto.
Belakangan hubungan PDIP dan Jokowi hancur lebur. Bahkan Hasto mengumumkan langsung ke public bahwa PDIP telah memecat Jokowi sebagai kader partai. Apa boleh buat, scenario Jokowi untuk menguasai partai itu punah sudah.
Hal ini yang membuat ia dendam sehingga diam-diam memerintahkan KPK untuk membongkar lagi kasus Harun Masiku yang melibatkan Hasto. Akhirnya kasus inipun mencuat kembali sehingga Hasto diseret sebagai terdakwa.
Jokowi nampaknya tidak puas sampai di situ saja. Ada indikasi kasus ini akna melebar sehingga Yasona Laoly juga berpeluang untuk diseret sebagai tersangka. ***