Percayalah, UU TNI yang baru saja direvisi adalah peluang
bagi TNI untuk mengisi kembali berbagai jabatan penting di lembaga sipil
sehingga supremasi TNI kembali menguasai negeri ini. Dwi fungsi ABRI yang dulu
menjadi momok bagi demokrasi Indonesia akan kembali muncul dengan wajah baru,
Dwifungsi TNI.Aksi demonstrasi mahasiswa menuntut pembatalan UU TNI
Walau katanya hanya ada 14 kementerian/lembaga yang posisinya dapat dijabat militer, namun semua itu adalah pintu masuk bagi TNI untuk menguasai semua lini. Sebanyak 14 jabatan yang disediakan siap menjalin kerjasama denganlLembaga sipil lainnya sehingga pengaruh militer bakal bebas menjelajah ke semua jabatan strategis.
Lihat saja bagaimana TNI kini terlibat dalam kegiatan pertanian. Dari bidang itu nantinya mereka akan masuk ke sektor pangan dan lainnya.
Posisi mereka yang sangat kuat di Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan bakal menjadi trigger untuk menyusup ke pemerintahan daerah. Sebab semua tahu, berbagai isu terkait dengan hukum dan keamanan pasti bermuara kepada kebijakan Kemenko Polkam.
Kemenko Polkam akan tunduk di bawah kendali Panglima TNI. Bisa dipastikan TNI bakal menjadi kekuatan bagi penguasa untuk memperpanjang tahta, sehingga ia bakal bisa memimpin dengan leluasa tanpa peduli arus bawah.
Ancaman lebih nyata bakal terlihat pula dari keterlibatan TNI di Badan Siber yang memberi peran bagi militer mengawasi dan membatasi informasi. Aturan ini memberi peluang bagi militer untuk memblokiran situs web dengan dalih ancaman keamanan negara.
Tentu saja hal ini akan mengganggu supremasi sipil yang selama ini aktif bersuara melalui media social. Dengan kuatnya posisi TNI di badan siber, independensi badan tersebut dalam merumuskan kebijakan akan berpotensi terdistorsi dengan kepentingan militer. Segala sesuatunya dapat saja dikaitkan dengan kepentingan pertahanan negara sehingga kebebasan bersuara di media social akan dibatasi.
Kita harus paham bahwa perang saat ini bukan sekadar tembak-tembakan menggunakan senjata. Ada perlawanan yang lebih modern lagi, menyebaran informasi melalui dunia digital atau siber. Gerakan sipil di berbagai negara banyak memanfaatkan keberadaan media digital untuk menyerukan perlawanan terhadap penguasa yang zalim.
Fenomena ini disebut sebagai people power melalui sosial media di mana warga biasa memanfaatkan platform digital untuk menyampaikan aspirasi, menyuarakan kekhawatiran, dan memobilisasi massa untuk tujuan tertentu. Keberadaan digital dalam gerakan rakyat setidaknya telah menciptakan perubahan lanskap pergerakan social karena teknologi ini telah melahirkan sebuah terminal bagi system demokrasi sehingga aspirasi arus bawah lebih mudah didengungkan.
![]() |
Aksi demo sikap kritis rakyat yang seolah dianggap bodoh. Padahal rakyat sudah cerdas, tidak sebodoh beliau itu |
Kekuatan penggunaan tagar (hashtag) seperti #Egypt, #Tunisia, dan #Syria, memperluas cakupan pesan dan menarik perhatian dunia internasional.
Kita tentu masih ingat dengan gerakan Black Lives Matter di Amerika Serikat yang telah berhasil mamanfaatkan sosial media untuk mengampanyekan keadilan dan kesetaraan bagi masyarakat kulit hitam. Video amatir dan live streaming seringkali menyoroti tindakan kekerasan terhadap warga kulit hitam dan menyuarakan tuntutan untuk perubahan sistem kepolisian.
Negara tetanggap kita Filipina juga merasakannya peran media sosial sebagai kekuatan penting dalam penggulingan pemerintahan korup pada 2017. Demonstrasi massa yang disebut "People Power Revolution" berhasil mendesak Presiden Ferdinand Marcos untuk mengundurkan diri.
Joko Widodo melalui komunitas buzzer bayarannya juga sangat cerdik memanfaatkan media digital ini sehingga seorang presiden pembohong seperti dirinya bisa diciptakan seakan sebagai seorang presiden yang sederhana, tulus dan peduli dengan rakyat. Di dalam dunia nyata, Jokowi telah menunjukkan kerakusannya pada kekuasaan, tapi semua itu berupaya dikaburkan melalui media social yang dimainkan para buzzer.
Contoh kecil itu menunjukan betapa media social memiliki kekuatan luar biasa dalam menyebarkan informasi, membangun opini, menyebarluaskan gerakan dan mempengaruhi pandangan public.
Pemerintah sadar bahwa ini merupakan ancaman bagi kekuasaan sehingga sangat penting bagi mereka menempatkan militer untuk mengawasi dunia digital. Karena itu, ancaman kemunduran demokrasi dengan kehadiran UU TNI yang baru ini adalah sebuah kenyataan.
Oleh karena itu gerakan mahasiswa dan perlawanan sipil untuk menuntut pembatalan UU TNI seharusnya mendapat dukungan semua elemen. Mari kita dukung TNI kembali ke barak, kita muliakan TNI dengan menempatkan mereka untuk urusan pertahanan negara sebab tidak jamannnya lagi dwifungsi TNI melekat di negeri ini. ***