Suasana sidang sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi |
Tidak hanya aparatur Pemerintah saja yang dituding bermain api pada Pilkada itu, tapi juga aparat hukum, khususnya kepolisian dan pihak kejaksanaan.
Sikap KPU dan Bawaslu Sumut yang cenderung diam melihat kecurangan, juga menjadi dalil yang disampaikan pemohon, yakni calon gubernur dan wakil gubernur Sumut nomor 02, Edy Rahmayadi-Hasan Basri Sagala. Edy dan Hasan mengandalkan duet pengacara Bambang Widjojanto dan Yance Aswin untuk membongkar kecurangan itu.
Keputusan Edy Rahmayadi memilih Bambang Widjojanto dan Yance Aswin sebagai pengacaranya sudah pasti dilandasi berbagai alasan yang sangat mendasar,
Bambang Widjojanto adalah pengacara kondang yang terkenal kritis terhadap segala perbuatan kewenang-wenangan. Bambang memiliki pengalaman sangat panjang dalam membela masyarakat tertindas.
Pengacara yang akrab dipanggil BW ini merupakan mantan aktivis Hak Asasi Manusia yang lama bertugas di Papua dan berbagai wilayah pedalaman di Indonesia. Ia juga merupakan mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), lembaga yang dikenal banyak melahirkan pengacara handal.
Tidak hanya aktif membela orang-orang tertindas, BW juga dikenal sebagai aktivis anti korupsi. Ia adalah salah satu pendiri Indonesian Corruption Watch (ICW) dan pernah menjabat sebagai wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015.
Di masa kepemimpinannya di KPK, BW dikenal sebagai sosok yang berani menghadapi siapapun. Tak heran jika KPK begitu ditakuti oleh penguasa kala itu. Tidak sedikit tokoh-tokoh penting di jajaran kekuasaan yang mereka penjarakan.
Setelah era BW dan kawan-kawannya berakhir di KPK pada 2015, Pemerintah di bawah kekuasaan Jokowi tidak mau lagi merekrut tokoh-tokoh vocal sebagai komisioner lembaga tersebut. Jokowi memilih menempatkan sosok yang bisa dikendalikannya. Alhasil, muncullah sosok Firli Bahuri, Alexander Marwata dan sejumlah komisioner lainnya untuk memimpin KPK.
Hasilnya bisa ditebak, KPK menjadi senjata bagi Jokowi untuk melawan musuh-musuhnya. Citra KPK hancur lebur. KPK tak ubahnya sebagai alat bagi kekuasaan. Sejak itu, rakyat tidak lagi bisa melihat KPK yang garang dan berani seperti di masa BW, Abraham Samad, Saud Situmorang dan kawan-kawan.
Setelah tidak lagi duduk di KPK, BW kembali menekuni dunia hukum melalui aktifitas sebagai pembela keadilan bagi orang-orang tertindas. Hal ini yang menjadi alasan sehingga Edy Rahmayadi tertarik menggunakan jasa BW sebagai kuasa hukumnya mengingat BW sosok yang tidak mengenal takut menghadapi siapun demi keadilan.
Adapun Yance Aswin yang merupakan mitra BW dalam membela kasus Edy Rahmayadi, juga merupakan sosok pengacara yang sangat vocal. Yance adalah Ketua Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) cabang Medan yang dikenal sangat lantang bersuara. Anak muda ini pernah cukup lama bergabung dalam Law Firm OC Kaligis di Jakata, sebelum memutuskan kembali ke kampung halamannya, Sumatera Utara.
Sejak muda, Yance aktif dalam berorganisasi. Ia dikenal salah satu jajaran elit organisasi Pemuda Pancasila Sumut. Pergaulannya luas. Komitmennya membela kelompok teraniaya tidak perlu diragukan lagi. Tidak sedikit warga yang menjadi korban ketidakadilan yang mengadu kepadanya.
Sebelum membela Edy Rahmayadi, Yance juga merupakan tim hukum Akhyar Nasution saat berlangsung Pilkada Medan 2020. Kala itu Akhyar maju sebagai kandidat walikota bersaing melawan menantu Presiden Joko Widodo, Bobby Nasution.
Yance Aswin dan Bambang Widjojanto, kuasa hukum pasangan Edy Rahmayadi-Hasan Basri Sagala saat bersidang di MK |
Kecurangan pada Pilkada Medan 2020 ini yang kemudian terjadi lagi pada Pilkada Gubernur 2024. Motifnya juga sama, karena adanya menantu presiden yang bersaing pada pesta demokrasi itu.
Sang menantu, Bobby Nasution memang dikenal sangat berambisi dalam dunia politik. Maka itu, dengan segala cara ia berupaya memanfaatkan jabatan mertua untuk bisa meraih ambisi itu.
Sang mertuanya, Jokowi juga mendukung keras misi sang menantu itu. Dengan berbagai cara, si mertua terus mendorong agar Bobby berhasil mendapatkan jabatan sebagai gubernur Sumut. Tidak perduli apakah cara itu melalui jalan lurus atau berbau busuk. Yang penting, Jokowi ingin anak dan menantunya bisa menancapkan kuku dalam ladang kekuasaan sehingga mereka tetap bisa melanjutkan dinasti politik yang sudah ada.
Maka itu, sejak awal Jokowi menempatkan orang-orang kepercayaannya untuk duduk sebagai penjabat (Pj) kepala daerah di Sumut. Para Pj inilah yang kemudian banyak bermain mengerahkan ASN dan masyarakat untuk mendukung Bobby Nasution.
Tentu saja tidak hanya dukungan ASN yang menjadi kunci kemenangan Bobby di Pilkada itu. Ada juga permainan yang dilakoni personil Polri yang bergerak membantu kampanye Bobby di lapangan. Scenario ini bukan hal yang sulit dilakukan Jokowi, sebab Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo begitu sangat patuh kepadanya. Bisa dipahami, sebab Jokowi adalah sosok yang berjasa dalam meningkatkan karir Listyo Sigit di Polri.
Selain Listyo, ada satu lagi sosok petinggi Polri yang aktif bermain menjalankan misi Jokowi itu. Dia adalah Jenderal Pol Agus Andrianto, yang menjabat sebagai Wakapolri sebelum diangkat sebagai Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan pada Oktober 2024. Melalui komando Agus Andrianto, perintah khusus lantas diturunkan ke jajaran Polda Sumut untuk menggerakkan para intelijen membantu kemenangan Bobby Nasution.
Permainan Agus menjadi salah satu kunci kemenangan Bobby mengingat ia sangat mengenal wilayah Sumatera Utara. Sebagian besar perjalanan karir Agus di kepolisian dihabiskan di Sumatera Utara.
Alumni Akpol 1989 ini pernah menjabat sebagai Kanit Serse, Kapolsek, Kapolres, Kapolestabes Medan, Direktur Reskrim Polda, Wakapolda, dan terakhir sebagai Kapolda Sumut pada 2019.
Pasangan 01 Bobby Nasution-Surya (berbaju putih ) dan pasangan Edy Rahmayadi-Hasan Basri Sagala pada Pilkada Gubernur 2024 |
Alasan pemeriksaan itu pastinya sangat mengada-ngada. Tapi Polda Sumut tidak peduli dengan semua kritikan public yang mengarah kepada mereka. Polda terus memanggil Akhyar berkali-kali ke Polda dengan alasan mencium ada indikasi korupsi dalam kegiatan MTQ itu.
Entah siapa yang mengadu, entah apa yang korupsi, dan entah bagaimana motifnya. Bagi Polda Sumut, hal itu tidak penting. Yang penting adalah Akhyar Nasution harus diperiksa agar muncul framing bahwa ia adalah calon walikota yang korup.
Dan benar saja. Langkah Polda itu menjadi senjata bagi pendukung Bobby Nasution untuk melemparkan fitnah bagi Akhyar Nasution. Tapi hanya sebatas penyebaran fitnah. Faktanya, Polda Sumut akhirnya tak lagi melanjutkan pemeriksaan itu karena memang tidak ada dalil yang bisa menjadi alasan untuk menyudutkan Akhyar.
Makanya Akhyar tidak pernah lagi diperiksa lagi. Meski demikian, target Polda Sumut teah tercapai karena mereka berhasil mengembangkan opini bahwa Akhyar terlibat korupsi. Dengan demikian para pendukung Bobby punya senjata baru untuk menyerang pesaingnya.
Begitulah politik busuk yang mewarnai demokrasi Sumut di masa Pemerintahan Jokowi. Aroma busuk itu yang kembali menyebar pada Pilkada 2024, tatkala Bobby Nasution melanjutkan ambisi politiknya untuk menguasai jabatan gubernur. Kali ini yang menjadi korbannya adalah Letjen (Purn) TNI Edy Rahmayadi.
Scernario kecurangan pada Pilkada Medan 2020 kembali diulang pada Pilkada Gubernur 2024. Pemainnya sama, ada aparatur pemerintah, mulai dari Pj Kepala Daerah, para ASN, camat, hingga aparatur desa.
Ada pula kecurangan yang dikomandoi tim sukses Bobby melalui penyebaran sembako dan money politic kepada para pemilih. Dan sudah bisa ditebak, personil polisi juga turut bermain di belakang. Lebih parah lagi, sebab Kejaksaan Sumut juga ambil bagian dalam orkestra kecurangan ini.
Tak heran jika pengacar Edy Rahmayadi, BW dan Yance Aswin memunculkan istilah Trilogy Kecurangan untuk menggambarkan kebusukan yang terjadi pada Pilkada 2024 itu.
“Trilogy yang kami maksud adalah adanya tiga lembaga negara yang bermain menebarkan kecurangan pada Pilkada di Sumut,” kata BW di depan sidang MK pada Senin 13 Januari 2025. Trilogy kecurangan itu mencuat karena penguasa begitu berambisi memaksakan kemenangan bagi Bobby Nasution.
“Makanya, sejak awal kami tegaskan bahwa Pilkada Gubernur Sumut sangat uni dan iconic. Pilkada Sumut serasa Pilpres. Semua elemen negara ikut bermain di dalamnya, ” ujar Yance Aswin.
BW dan Yance setidaknya telah mendata 107 kecurangan yang mereka temukan di lapangan.
“Data dan saksi semua itu. Kita akan bongkar di sidang MK berikutnya,” ujar Yance.
Yance dan BW begitu lugas dalam memaparkan kecurangan yang terjadi pada Pilkada Sumut saat persidangan perdana di MK pada 13 Januari lalu. Suara mereka sangat lantang, tegas dan jelas. Data yang mereka sampaikan lengkap dengan bukti-bukti. Tidak asal menuduh sembarangan.
Majelis hakim Panel 1 dikomandoi Ketua MK, Suhartoyo, memimpin sidang sengketa Pilkada Gubernur Sumut |
Untuk bisa mendapatkan putusan yang mengejutkan itu, kunci utamanya adalah sejauh mana BW dan Yance bisa menghadirkan saksi-saksi untuk memberikan keterangan pada persidangan berikutnya.
Langkah ini tidaklah mudah, sebab potensi gangguan yang diarahkan kepada para saksi sangat berpeluang terjadi. Bukan tidak mungkin akan ada saksi yang diancam, diculik, atau dijanjikan iming-iming tertentu agar tidak hadir di persidangan nanti.
Intinya, segala upaya bisa saja dilakukan pihak pendukung Bobby untuk menggugurkan keterangan saksi itu.
Inilah yang dikuatirkan Yance dan BW. Maka itu, mereka tidak mau sembarangan menyebutkan saksi-saksi yang akan dihadirkan di persidangan. Demi keamanan bersama, identitas para saksi harus dirahasiakan.
Yang jelas, Yance dan BW sangat yakin, persidangan nanti pasti akan menghadirkan banyak kejutan. Bukan tidak mungkin sidang itu banyak membuka tabir baru terkait permainan penguasa dalam melanggengkan kekuasan dinasti politik keluarga Jokowi. ***